dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
Dalam Perspektif Hukum
Tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika bersifat transnasional yang dilakukan dengan
menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, dan didukung oleh
jaringan organisasi yang luas telah memasuki fase yang sangat membahayakan.
Permasalahan Narkotika menjadi sebuah fenomena global, dimana penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dengan berbagai
implikasinya maupun dampak negatifnya merupakan masalah nasional maupun
internasional perlu penanganannya secara serius.
Sebagaimana
kita ketahui bersama, bahwa tindak pidanaNarkotika dan Prekursor Narkotika memiliki
ciri-ciri tertentu yang harus diwaspadai
bersama, kejahatan
ini menjadi kejahatan antar negara (transnational
crime). Bentuk kejahatannya merupakan kejahatan terorganisir (organized crime),korbannyapun tidak
pilih kasih (indiskriminatif),
jaringan pelakunya dilaksanakan dengan sistim piramida dan sel (pyramidal and cel system). Oleh karena
itu, penanganannya memerlukan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary measure), baik dalam penerapan hukum acaranya,
maupun metodologi pembuktiannya, untuk dapat mendeteksi dan mengidentifikasi
gerak-gerik pelaku kejahatan ini memerlukan teknologi tinggi. Kita harus mampu
mengidentifisir dan membuktikan aset dari hasil kejahatannya, oleh karena itu
diperlukan aparat penegak hukum yang memiliki kemampuan yang handal dalam
mengungkap aset para pelaku kejahatan tersebut.
Konstruksi sistem hukum yang dikembangkan saat ini masih difokuskan pada
upaya untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan serta menghukum
pelakunya dengan pemberian sanksi, baik pidana penjara maupun denda.
Sementara itu, masalah penyitaan aset hasil tindak pidana dan instrumen lainnya belum menjadi
bagian penting di dalam sistem hukum saat ini dalam hal penggunaannya. Berdasarkan
pengalaman bahwa dalam menekan suatu tindak pidana yang menyangkut
kejahatan terorganisir atau organized
crime, belum cukup efektif apabila hanya menemukan dan menempatkan
pelakunya ke dalam penjara, apabila tidak disertai dengan upaya penyitaan dan
perampasan aset hasil tindak pidana dan instrumen lainnyasekaligus
bagaimana penggunaannya.
Pada saat ini perkembangan hukum di dunia internasional menunjukkan bahwa
penyitaan dan perampasan aset hasil
tindak pidana dan instrumen lainnya menjadi bagian penting dari upaya menekan
tingkat kejahatan. Selain dapat mengungkap tindak pidana dan menemukan
pelakunya, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana dan instrumen
lainnya menjadi bagian utama dari proses penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, terlihat adanya kebutuhan untuk
merekonstruksikan sistem hukum dengan mengatur antara lain
bagaimana cara penggunaan terhadap barang sitaan dan
perampasan aset hasil tindak pidana dan instrumen lainnya.
Perampasan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang tetap dirampas untuk
negara dan dapat digunakan untuk upaya pencegahan
dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika, rehabilitasi medis dan sosial bagi pecandu, serta untuk
pembayaran premi bagi anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya
tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika agar masyarakat
berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan.
Disamping itu dalam menangani berbagai permasalahan Narkotika diperlukan
juga beberapa strategi yang diperlukan dalam rangka melakukan upaya pencegahan
dan pemberantasan, antara lain strategi terhadap pengurangan permintaan (demand reductions), yaitu untuk mencegah
agar orang untuk tidak menggunakan Narkotika, termasuk mencegah pengguna dan
pecandu menggunakan Narkotika kembali (relaps).
Menghadapi permasalahan
Narkotika yang terus meningkat dan makin serius, melalui Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 melalui
Tap MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 telah
merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan
Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika (yang sebelumnya mengubah Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1976 tentang Narkotika). Alasan
diubahnya Undang-Undang Nomor22 Tahun 1997 tentang Narkotika selain untuk
kepentingan pengobatan dan kesehatan serta rehabilitasi medis dan sosial juga
untuk peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan, adanya kecenderungan
semakin meningkat baik kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas
terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI
mengesahkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Untuk
lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotikadi atur mengenai penguatankelembagaandalam
penanganan Narkotika yaitu Badan Narkotika Nasional yang didasarkan
pada Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional
yang sebelumnya di atur dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan
Narkotika Nasional,Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. Sebelumnya BNN
merupakan lembaga nonstrukturalyang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden, mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi
sedangkan setelah diundangkannya Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Badan narkotika Nasional (turunan dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika), BNN ditingkatkan statusnya menjadi lembaga pemerintah
nonkementerian dan sebagai instansi vertikal di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota serta diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mendelegasikan
untuk mengatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah antara lain kegiatan
transito, syarat dan tata cara pengelolaan prekursor Narkotika, pelaksanaan
wajib lapor, pembinaan dan pengawasan Narkotika, syarat dan tata cara
penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang
disita, syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di lab. tertentu,
syarat dan tata cara penyerahan dan pemusnahan barang sitaan, tata cara
perlindungan oleh negara, dan tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset
yang diperoleh dari hasil tindak pidana Narkotika serta pendelegasian lebih
lanjut dengan beberapa peraturan Presiden dan peraturan menteri serta peraturan
pimpinan lembaga. Selain
itu, diatur pula mengenai sanksi pidana yang berat bagi penyalahgunaan Prekusor Narkotika,dalam
hal pembuatan Narkotika. Secara
ilegal agar menimbulkan
efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
Prekusor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk
pidana minimum khusus, maupun pidana lainnya, selain memberikan sanksinya yang
lebih keras, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam
penerapannya lebih humanis bagi Penyalah Guna dan Korban PenyalahgunaanNarkotika untuk mendapatkan perawatan
dan pengobatan di lembaga rehabilitasi
yang telah ditunjuk oleh pemerintah,
baik secara medis maupun sosial yang diharapkan dapat mengembalikan jati diri Penyalah Guna Narkotika untuk dapat kembali ke masyarakat menjalankan fungsi sosialnya.
Terkait dengan hal tersebut, sampai saat ini sudah 2 (dua) peraturan
pemerintah yang sudah sahkan dan diundangkan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 2010 tentang Prekursor dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011
tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, sedangkan 7 (tujuh)
pendelegasian yang ada dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika masih dalam proses paraf persetujuan dari para menteri dan pimpinan
lembaga terkait dan diharapkan dalam waktu dekat akan disahkan dan diundangkan.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor karena Prekusor Narkotika merupakan
zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Peraturan
Pemerintah tersebut mengatur mengenai penggolongan dan jenis Prekursor, rencana
kebutuhan tahunan, pengadaan, impor dan ekspor, peredaran, pencatatan dan
pelaporan, serta pengawasan.
Salah satu hal yang mendapat perhatian khusus karena melibatkan banyak
instansi terkait adalah pendelegasian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yang telah sahkan dan diundangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Peraturan
Pemerintah ini disusun untuk memberikan kejelasan serta menguraikan secara
tegas mengenai Institusi Penerima Wajib Lapor serta bagaimana tata cara
pelaksanaannya. Hal yang mendapatkan perhatian khusus dalam peraturan
Pemerintah ini terkait dengan pelaporan serta monitoring dan evaluasi yang
dimaksudkan agar pelaksanaan wajib lapor dapat berjalan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selain hal tersebut di atas,mengatur pula upaya
untuk memenuhi hak pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dengan melibatkan
orang tua, wali, keluarga, dan masyarakat dalam meningkatkan tanggung jawab
terhadap pecandu yang ada di bawah pengawasan dan bimbingannya, serta sebagai
bahan informasi bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan di bidang P4GN.
Pendelegasian Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan
Wajib Lapor Pecandu Narkotika yang telah diterbitkan, sebagai berikut:
a. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1305/MENKES/SK/VI/2011 tentang
Institusi Penerima Wajib Lapor;
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 2171/MENKES/SK/X/2011
tentang Tata Cara Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika Tahun 2011;
c. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
2415/Menkes/Per/XII/2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalah Guna dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika;
d. Keputusan Menteri Sosial Nomor 31/HUK/2012 tentang Penunjukan
Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza sebagai Institusi
Penerima Wajib Lapor (IPWL) bagi Korban Penyalahgunaan Napza; dan
e. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 2 Tahun
2011 tentang Penanganan Tersangka atau Terdakwa Penyalah Guna, Korban
Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika.
Yang menarik untuk disikapi adalah bagaimana penanganan Penyalah Guna,
Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika yang ditetapkan sebagai tersangka
atau terdakwa dalam perkara tindak pidana Narkotika selama proses peradilan. Peraturan
Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penanganan Tersangka
atau Terdakwa Penyalah Guna, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika telah
ditetapkan pada tanggal 18 mei 2011 dan telah diundangkan pada Berita Negara
Republik Indonesia Nomor 578 pada tanggal 12 September 2011 yang memuat
mengenai bagaimana tata cara permohonan, mekanisme penanganan, tata cara
penempatan, dan kerjasama untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan dalam melakukan asesmen dan kajian medis
terhadap tersangka atau terdakwa.Kemudian diperkuat dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban
Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi sosial danSurat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2011 tentang
Penempatan Korban Penyalahgunaan di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi sosial.
Permasalahan saat ini Pecandu,
Korban Penyalahgunaan dan Penyalah Guna Narkotika jumlahya
semakin meningkat dan upaya pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
bagi yang bersangkutan baik di tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pemidanaan belum dilakukan secara optimal, sertaperlu adanya keterpaduan program dalam pelaksanaan
rehabilitasinya.Keterbatasan pemerintah dalam SDM, sarana
prasarana, dan anggaran yang menyebabkan masih tertinggalnya masalah penempatan
bagi tersangka atau terdakwa yang semakin meningkat untuk ditempatkan dalam
lembaga Rehabilitasi Medis dan/atau Rehabilitasi Sosial. Kementerian Hukum dan
HAM baru memiliki 16 (enam belas) Lapas Narkotika tetapi belum berfungsi secara
maksimal dan ada 7 (tujuh) dari 16 (enam belas) Lapas Narkotika yang masih menjadi project tapi lebih fokus
kepada penanganan HIV/AIDS dan SDM sudah lebih siap untuk hal tersebut. Lebih
lanjut kapasitas Lapas/Rutan dalam menampung belum memadai apalagi kedepan
penghuni Lapas Narkotika harus steril tidak boleh dicampur aduk (Penyalah Guna,
Korban Penyalahgunaan, Pecandu Narkotika atau terlibat dalam jaringan harus
terpisah) serta Belum adanya “one stop centre” dari persidangan sampai
dengan penempatan.
Dari berbagai penelitian mengenai pecandu Narkotika, bahwa pecandu
merupakan populasi yang tersembunyi dan jumlah yang sebenarnya diperkirakan
lebih besar, karena disatu sisi berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum dan
disisi lain karena keterbatasan akses terapi dan rehabilitasi, atau dikarenakan
besarnya pembiayaan pengobatan yang harus ditanggung, bahkan negarapun tidak
akan mampu untuk membiayai pengobatan atau terapi dan rehabilitasi bagi mereka,
oleh karena itu diperlukan aturan mengenai bagaimana cara penggunaan terhadap
barang sitaan dan perampasan aset hasil
tindak pidana dan instrumen lainnya tersebut, agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin
untuk kepentingan:
a.
Rehabilitasi medis dan sosial;
b.
Proses peradilan oleh lembaga penegak hukum dan Institusi terkait lainnya;
c.
Pemberian penghargaan kepada yang telah berjasa mengungkap adanya
tindak pidana Narkotika atau tindak pidana Prekursor Narkotika;
d.
Peningkatan kapasitas aparat atau pegawai dari institusi yang
berjasa dalam penyitaan atau perampasan aset hasil tindak pidana;
e.
Pengadaan mesin dan peralatan untuk penunjang
kegiatan tersebut; atau
f.
Penggantian biaya yang telah dikeluarkan
aparat penegak hukum atau aparat pemerintah yang bersangkutan dalam mengungkap
tindak pidana dan/atau merampas hasil tindak pidana.
Tentu saja
semua penggunaan tersebut dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, baik dari segi realisasi pemanfaatannya maupun
pertanggungjawaban keuangannya.