Laman

Kamis, 07 Juni 2012

P4GN DALAM PERSPEKTIF HUKUM

Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
Dalam Perspektif Hukum

Tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, dan didukung oleh jaringan organisasi yang luas telah memasuki fase yang sangat membahayakan. Permasalahan Narkotika menjadi sebuah fenomena global, dimana penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dengan berbagai implikasinya maupun dampak negatifnya merupakan masalah nasional maupun internasional perlu penanganannya secara serius.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa tindak pidanaNarkotika dan Prekursor Narkotika memiliki ciri-ciri tertentu yang harus diwaspadai bersama, kejahatan ini menjadi kejahatan antar negara (transnational crime). Bentuk kejahatannya merupakan kejahatan terorganisir (organized crime),korbannyapun tidak pilih kasih (indiskriminatif), jaringan pelakunya dilaksanakan dengan sistim piramida dan sel (pyramidal and cel system). Oleh karena itu, penanganannya memerlukan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary measure), baik dalam penerapan hukum acaranya, maupun metodologi pembuktiannya, untuk dapat mendeteksi dan mengidentifikasi gerak-gerik pelaku kejahatan ini memerlukan teknologi tinggi. Kita harus mampu mengidentifisir dan membuktikan aset dari hasil kejahatannya, oleh karena itu diperlukan aparat penegak hukum yang memiliki kemampuan yang handal dalam mengungkap aset para pelaku kejahatan tersebut.
Konstruksi sistem hukum yang dikembangkan saat ini masih difokuskan pada upaya untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan serta menghukum pelakunya dengan pemberian sanksi, baik pidana penjara maupun denda. Sementara itu, masalah penyitaan aset hasil tindak pidana dan instrumen lainnya belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum saat ini dalam hal penggunaannya. Berdasarkan pengalaman bahwa dalam menekan suatu tindak pidana yang menyangkut kejahatan terorganisir atau organized crime, belum cukup efektif apabila hanya menemukan dan menempatkan pelakunya ke dalam penjara, apabila tidak disertai dengan upaya penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana dan instrumen lainnyasekaligus bagaimana penggunaannya.
Pada saat ini perkembangan hukum di dunia internasional menunjukkan bahwa penyitaan dan  perampasan aset hasil tindak pidana dan instrumen lainnya menjadi bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan. Selain dapat mengungkap tindak pidana dan menemukan pelakunya, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana dan instrumen lainnya menjadi bagian utama dari proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, terlihat adanya kebutuhan untuk merekonstruksikan sistem hukum dengan mengatur antara lain bagaimana cara penggunaan terhadap barang sitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana dan instrumen lainnya. Perampasan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang tetap dirampas untuk negara dan dapat digunakan untuk upaya pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, rehabilitasi medis dan sosial bagi pecandu, serta untuk pembayaran premi bagi anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika agar masyarakat berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan.
Disamping itu dalam menangani berbagai permasalahan Narkotika diperlukan juga beberapa strategi yang diperlukan dalam rangka melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan, antara lain strategi terhadap pengurangan permintaan (demand reductions), yaitu untuk mencegah agar orang untuk tidak menggunakan Narkotika, termasuk mencegah pengguna dan pecandu menggunakan Narkotika kembali (relaps). Menghadapi permasalahan Narkotika yang terus meningkat dan makin serius, melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 melalui Tap MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (yang sebelumnya mengubah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika). Alasan diubahnya Undang-Undang Nomor22 Tahun 1997 tentang Narkotika selain untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta rehabilitasi medis dan sosial juga untuk peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan, adanya kecenderungan semakin meningkat baik kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotikadi atur mengenai penguatankelembagaandalam penanganan Narkotika yaitu Badan Narkotika Nasional yang didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional yang sebelumnya di atur dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional,Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. Sebelumnya BNN merupakan lembaga nonstrukturalyang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi sedangkan setelah diundangkannya Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan narkotika Nasional (turunan dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika), BNN ditingkatkan statusnya menjadi lembaga pemerintah nonkementerian dan sebagai instansi vertikal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mendelegasikan untuk mengatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah antara lain kegiatan transito, syarat dan tata cara pengelolaan prekursor Narkotika, pelaksanaan wajib lapor, pembinaan dan pengawasan Narkotika, syarat dan tata cara penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita, syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di lab. tertentu, syarat dan tata cara penyerahan dan pemusnahan barang sitaan, tata cara perlindungan oleh negara, dan tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana Narkotika serta pendelegasian lebih lanjut dengan beberapa peraturan Presiden dan peraturan menteri serta peraturan pimpinan lembaga. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana yang berat bagi penyalahgunaan Prekusor Narkotika,dalam hal pembuatan Narkotika. Secara ilegal agar menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan Prekusor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, maupun pidana lainnya, selain memberikan sanksinya yang lebih keras, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam penerapannya lebih humanis bagi Penyalah Guna dan Korban PenyalahgunaanNarkotika untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan di lembaga rehabilitasi yang telah ditunjuk oleh pemerintah, baik secara medis maupun sosial yang diharapkan dapat mengembalikan jati diri Penyalah Guna Narkotika untuk dapat kembali ke masyarakat menjalankan fungsi sosialnya.
Terkait dengan hal tersebut, sampai saat ini sudah 2 (dua) peraturan pemerintah yang sudah sahkan dan diundangkan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, sedangkan 7 (tujuh) pendelegasian yang ada dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika masih dalam proses paraf persetujuan dari para menteri dan pimpinan lembaga terkait dan diharapkan dalam waktu dekat akan disahkan dan diundangkan.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor karena Prekusor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur mengenai penggolongan dan jenis Prekursor, rencana kebutuhan tahunan, pengadaan, impor dan ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan.
Salah satu hal yang mendapat perhatian khusus karena melibatkan banyak instansi terkait adalah pendelegasian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang telah sahkan dan diundangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Peraturan Pemerintah ini disusun untuk memberikan kejelasan serta menguraikan secara tegas mengenai Institusi Penerima Wajib Lapor serta bagaimana tata cara pelaksanaannya. Hal yang mendapatkan perhatian khusus dalam peraturan Pemerintah ini terkait dengan pelaporan serta monitoring dan evaluasi yang dimaksudkan agar pelaksanaan wajib lapor dapat berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain hal tersebut di atas,mengatur pula upaya untuk memenuhi hak pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dengan melibatkan orang tua, wali, keluarga, dan masyarakat dalam meningkatkan tanggung jawab terhadap pecandu yang ada di bawah pengawasan dan bimbingannya, serta sebagai bahan informasi bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan di bidang P4GN.

Pendelegasian Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika yang telah diterbitkan, sebagai berikut:
a.     Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1305/MENKES/SK/VI/2011 tentang Institusi Penerima Wajib Lapor;
b.     Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 2171/MENKES/SK/X/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika Tahun 2011;
c.      Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2415/Menkes/Per/XII/2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalah Guna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika;
d.     Keputusan Menteri Sosial Nomor 31/HUK/2012 tentang Penunjukan Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) bagi Korban Penyalahgunaan Napza; dan
e.     Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penanganan Tersangka atau Terdakwa Penyalah Guna, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika.

Yang menarik untuk disikapi adalah bagaimana penanganan Penyalah Guna, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika yang ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana Narkotika selama proses peradilan. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penanganan Tersangka atau Terdakwa Penyalah Guna, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika telah ditetapkan pada tanggal 18 mei 2011 dan telah diundangkan pada Berita Negara Republik Indonesia Nomor 578 pada tanggal 12 September 2011 yang memuat mengenai bagaimana tata cara permohonan, mekanisme penanganan, tata cara penempatan, dan kerjasama untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam melakukan asesmen dan kajian medis terhadap tersangka atau terdakwa.Kemudian diperkuat dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi sosial danSurat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi sosial.

Permasalahan saat ini Pecandu, Korban Penyalahgunaan dan Penyalah Guna Narkotika jumlahya semakin meningkat dan upaya pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi bagi yang bersangkutan baik di tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pemidanaan belum dilakukan secara optimal, sertaperlu adanya keterpaduan program dalam pelaksanaan rehabilitasinya.Keterbatasan pemerintah dalam SDM, sarana prasarana, dan anggaran yang menyebabkan masih tertinggalnya masalah penempatan bagi tersangka atau terdakwa yang semakin meningkat untuk ditempatkan dalam lembaga Rehabilitasi Medis dan/atau Rehabilitasi Sosial. Kementerian Hukum dan HAM baru memiliki 16 (enam belas) Lapas Narkotika tetapi belum berfungsi secara maksimal dan ada 7 (tujuh) dari 16 (enam belas) Lapas Narkotika yang masih menjadi project tapi lebih fokus kepada penanganan HIV/AIDS dan SDM sudah lebih siap untuk hal tersebut. Lebih lanjut kapasitas Lapas/Rutan dalam menampung belum memadai apalagi kedepan penghuni Lapas Narkotika harus steril tidak boleh dicampur aduk (Penyalah Guna, Korban Penyalahgunaan, Pecandu Narkotika atau terlibat dalam jaringan harus terpisah) serta Belum adanya “one stop centre” dari persidangan sampai dengan penempatan.
Dari berbagai penelitian mengenai pecandu Narkotika, bahwa pecandu merupakan populasi yang tersembunyi dan jumlah yang sebenarnya diperkirakan lebih besar, karena disatu sisi berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum dan disisi lain karena keterbatasan akses terapi dan rehabilitasi, atau dikarenakan besarnya pembiayaan pengobatan yang harus ditanggung, bahkan negarapun tidak akan mampu untuk membiayai pengobatan atau terapi dan rehabilitasi bagi mereka, oleh karena itu diperlukan aturan mengenai bagaimana cara penggunaan terhadap barang sitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana dan instrumen lainnya tersebut, agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan:
a.     Rehabilitasi medis dan sosial;
b.     Proses peradilan oleh lembaga penegak hukum dan Institusi terkait lainnya;
c.      Pemberian penghargaan kepada yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika atau tindak pidana Prekursor Narkotika;
d.     Peningkatan kapasitas aparat atau pegawai dari institusi yang berjasa dalam penyitaan atau perampasan aset hasil tindak pidana;
e.     Pengadaan mesin dan peralatan untuk penunjang kegiatan tersebut; atau
f.       Penggantian biaya yang telah dikeluarkan aparat penegak hukum atau aparat pemerintah yang bersangkutan dalam mengungkap tindak pidana dan/atau merampas hasil tindak pidana.
Tentu saja semua penggunaan tersebut dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik dari segi realisasi pemanfaatannya maupun pertanggungjawaban keuangannya.